zwani.com myspace graphic comments

Praktik Keperawatan Mandiri

19.59 Edit This 0 Comments »

1. Pengertian Praktik Keperawatan Mandiri

Menurut konsorsium ilmu-ilmu kesehatan (1992) praktek keperawatan adalah tindakan mandiri perawat profesional atau ners melalui kerjasama yang bersifat kolaboratif baik dengan klien maupun tenaga kesehatan lain dalam upaya memberikan asuhan keperawatan yang holistic sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya pada berbagai tatanan, termasuk praktik keperawatan individu dan berkelompok. Sementara pengetahuan teoritik yang mantap dan tindakan mandiri perawat profesional dengan menggunakan pengetahuan teoritik yang mantap dan kokoh mencakup ilmu dasar dan ilmu keperawatan sebagai landasan dan menggunakan proses keperawatan sebagai pendekatan dalam melakukan asuhan keperawatan (pojok keperawatan CHS, 2002).

Pelayanan keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-soiso-spiritual yang komprehensif, di tujukan kepada individu, keluarga, dan masyarakat baik sakit maupun sehat yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia. Pelayanan keperawatan yang di berikan berupa bantuan karena adaya kelemahan fisik dan mental, keterbatasan pengetahuan dan kurangnya kemauan menuju kepada kemampuan melaksanakan kegiatan hidup sehari-hari secara mandiri.

2. Tujuan Praktik Keperawatan Mandiri

Tujuan praktik keperawatan sesuai yang dicanangkan WHO (1985) haru diupayakan pada pencegahan primer, peningkatan kesehatan pasien, keluarga dan masyarakat, perawatan diri, dan peningkatan kepercayaan diri.

Praktik keperawatan meliputi empat area yang terkait dengan kesehatan (kozier & Erb, 1999), yaitu :

i. Peningkatan kesehatan (Health Promotion)

ii. Pencegahan penyakit

iii. Pemeliharaan kesehatan (Health Maintenance)

iv. Pemulihan kesehatan (Health Restoration), dan

v. Perawatan pasien menjelang ajal.

Peningkatan Kesehatan

Peningkatan Kesehatan adalah kerangka aktivitas keperawatan. Kesadaran diri klien, kesadaran kesehatan, keterampilan kesehatan dan penggunaan semua sumber yang dipertimbangkan sebagai perawatan yang di berikan oleh perawat. Peningkatan kesehatan membantu masyarakat dalam mengembangkan sumber untuk memelihara atau meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan mereka. Tujuan kesehatan yang ingin diwujudkan adalah mencapai derajat kesehatan yang optimal. Fokus peningkatan kesehatan diarahkan untuk memelihara atau meningkatkan kesehatan umum individu keluarga dan komunitas.

Kegiatan yang berorientasi pada peningkatan kesehatan memerlukan :

1. Pendidikan untuk publik atau masyarakat dan individu

2. Perundang-undangan atau kebijakan yang mendukung

3. Hubungan interpersonal dengan klien secara langsung

Area keperawatan yang melibatkan perawat meliputi :

1. Mendorong dan mengadakan suatu latihan fisik secara periodik dan pemantauan terhadap proses penyakit (mis.hipertensi, diabetes militus dan kanker).

2. Memimpin pelaksanaan pendidikan kesehatan masyarakat melalui pameran kesehatan dan program kesehatan mental.

3. Mendukung undang-undang yang ditujukan untuk pemeliharaan kesehatan dan program perlindungan anak dan.

4. Peningkatan kondisi kesehatan dan keselamatan kerja, dll.

Pencegahan Penyakit

Aktivitas pencegahan penyakit secara objektif untuk mengurangi risiko penyakit, untuk meningkatkan kebiasaan kesehatan yang baik dan untuk mempertahankan fungsi individu secara optimal.

Aktivitas atau kegiatan yang dapat dilaksanakan antara lain sebagai berikut :

1. Melakukan program pendidikan di rumah sakit, misalnya perawat ibu hamil, program melarang atau menghindari rokok, seminar ”mengurangi atau mencegah stres” dll.

2. Program umum dan dasar yang dapat meningkatkan gaya hidup sehat, misalnya melakukan senam aerobik, berenang atau program kebugaran.

3. Memberikan informasi tentang kesehatan, makanan yang sehat, olah raga dan lingkungan yang sehat melalui liflet, media massa atau media elektronik.

4. Menyediakan pelayanan keperawatan yang dapat menjamin kesehatan ibu hamil dan kelahiran bayinya dengan sehat.

5. Memantau tumbuh kembang bayi dan balita.

6. Memberikan imunisasi.

7. Melakukan pemeriksaan untuk medeteksi tekanan darah tinggi, kadar kolesterol, dan kanker.

8. Melakukan konseling mengenai pencegahan akibat kekurangan nutrisi dan penghentian rokok.

Peran perawat dalam upaya peningkatan kesehatan meliputi hal-hal berikut :

1. Bertindak sebagai model peran dalam berperilaku serta bergaya hidup sehat.

2. Mengajarkan klien tentang strategi keperawatan dan usaha meningkatkan kesehatan, misalnya dengan cara perbaikann gizi, pengendalian stres, usaha untuk membina hubungan yang baik dengan sesama.

3. Memengaruhi klien untuk meningkatkan derajat kesehatannya.

4. Menunjukkan klien cara pemecahan masalah yang tepat dan mengambil keputusan yang efektif.

5. Menguatkan perilaku peningkatan kesehatan pribadi dan keluarga.

Pemeliharaan Kesehatan (Health maintenance)

Kegiatan keperawatan dalam pemeliharaan kesehatan adalah kegiatan yang membantu klien memelihara status kesehatan mereka. Perawat melakukan aktivitas untuk membantu masyarakat mempertahankan status kesehatannya.

Tiga perkembangan pemeliharaan kesehatan :

1. Mencoba mengidentifikasi gejala penyakit kronis sebelum penderita mengidapnya, misalnya melakukan pemeriksaan fisik secara teratur, untuk usia di atas 35 tahun.

2. Meningkatkan ketertarikan terhadap masalah kesehatan sehubungan dengan perubahan struktur sosial masyarakat.

3. Ketertarikan pada faktor lingkungan sehubungan dengan penyebab penyakit karena stres.

Pemulihan kesehatan (Health Restoration)

Pemulihan kesehatan berarti perawat membantu pasien meningkatkan kesehatan setelah pasien memiliki masalah kesehatan atau penyakit.

Kegiatan yang dilakukan dalam perbaikan kesehatan meliputi hal-hal berikut :

1. Memberikan perawatan secara langsung pada individu yang sedang sakit, misalnya dengan memberikan perawatan fisik.

2. Memberikan perawatan pada pasien yang mengalami gangguan kesehatan mental.

3. Melakukan diagnostik dan pemeriksaan untuk mendeteksi penyakit.

4. Merencanakan pengajaran dan rehabilitasi pada pasien-pasien tertentu, misalnya pda pasien stroke, serangan jantung, artritis.

Perawatan Pasien Menjelang Ajal

Area praktik keperawatan ini mencakup perawat memberikan rasa nyaman dan merawat orang dalam keadaan menjelang ajal. Kegiatan dapat dilakukan di rumah sakit, rumah, dan fasilitas kesehatan lainnya.

Lingkup praktik keperawatan pada dasarnya sangat berkaitan dengan kompetensi lulusan. Pendidikan profesional keperwatan yang diharapkan mampu berperan atau mengembangkan fungsi perawat profesional baik sebagai pemberi asuhan keperawatan, pendidik, pengelola, maupun peneliti.

3. Unsur-unsur Praktik Keperawatan Mandiri

Walaupun praktik keperawatan itu kompleks, ia juga dinamis, selalu merespon terhadap perubahan kebutuhan kesehatan, dan terhadap kebutuhan-kebutuhan perubahan sistem pelayanan kesehatan. Menurut WHO (1996), unsur-unsur inti keperawatan tergambarkan dalam kegiatan-kegiatan berikut :

1. Mengelola kesehatan fisik dan mental serta kesakitan, kegiatannya meliputi pengkajian, monitoring, koordinasi dan mengelola status kesehatan setiap saat bekerjasama dengan individu, keluarga maupun masyarakat. Perawatan mengkaji kesehatan klien, mendeteksi penyakit yang akut atau kronis, melakukan penelitian dan menginterpretasikannya, memilih dan memonitor interprensi tarapeutik yang cocok, dan melakukan semua ini dalam hubungan yang suportif dan carring. Perawat harus bisa memutuskan kapan klien dikelola sendiri dan kapan harus dirujuk ke profesi lain.

2. Memonitor dan menjamin kualitas praktik pelayanan kesehatan. Tanggung jawab terhadap kegiatan-kegiatan praktik professional, seperti memonitor kemampuan sendiri, memonitor efek-efek intervensi medis, mensupervisi pekerjaan-pekerjaan personil yang kurang terampil dan berkonsultasi dengan orang yang tepat. Karena ruang lingkup dan kompleksitas praktik keperawatan maka diperlukan keterampilan-keterampilan dan pemecahan masalah, berfikir kritis serta bertinfak etis dan legal terhadap kualitas pelayanan yang diberikan dan tidak diskriminatif.

3. Memberikan bantuan dan caring. Caring adalah bagian yang terpenting dalam praktik keperawatan. Bantuan termasuk menciptakan suasana penyembuhan, memberikan kenyamanan membangun hubungan dengan klien melalui asuhan keperawatan. Peran membantu seharusnya menjamin partisipasi penuh dari klien dalam perencanaan asuhan, pencegahan, dan treatmen dan asuhan yang diberikan. Perawat memberikan informasi penting mengenai proses penyakit, gejala-gejalanya, dan efek samping pengobatan.

4. Penyuluhan-penyuluhan kepada individu, keluarga maupun masyarakat mengenai masalah-masalah kesehatan adalah fungsi penting dalam keperawatan.

5. Mengorganisir dan mengola sistem pelayanan kesehatan. Perawat berpartisipasi dalam membentuk dan mengola sistem pelayanan kesehatan, ini termasuk menjamin kebutuhan klien terpenuhi, mengatasi kekurangan staf, menghadapi birokrasi, membangun dan memelihara tim terapeutik, dan mendapatkan asuhan spesialis untuk pasien. Perawat bekerja intersektoral dengan rumah sakit, puskesmas, institusi pelayanan kesehatan lain, dan sekolah. Profesi keperawatan harus mempengaruhi strategi kebijaksanaan kesehatan, baik tingkat local, regional maupun internasional, aktif terlibat dalam program perencanaan, pengalokasian dana, mengumpulkan, menganalisis dan memberikan informasi kepada semua level.

4. Praktik Keperawatan di Rumah (Home Versing Practice / Home Care)

Di beberapa negara maju, “home care” (perawatan di rumah), bukan merupakan konsep yang baru tapi telah dikembangkan oleh William Rathbon sejak tahun 1859 yang dia namakan perawatan di rumah dalam bentuk kunjungan tenaga keperawatan ke rumah untuk mengobati klien yang sakit dan tidak bersedia dirawat di rumah sakit. Dari beberapa literatur pengertian “home care” adalah perawatan di rumah merupakan lanjutan asuhan keperawatan di rumah sakit yang sakit termasuk dalam rencana pemulangan (discharge planning) dan dapat dilaksanakan oleh perawat dari rumah sakit semula, oleh perawat komunitas dimana pasien berada, atau tim keperawatan khusus yang menangani perawatan di rumah. Menurut Warola, 1980 dalam pengembangan Model Praktik Mandiri Keperawatan di rumah yang disusun oleh PPNI dan Depkes, home care adalah pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan pasien individu dan keluarga, direncanakan, dikoordinasikan, disediakan oleh pemberi pelayanan yang diorganisir untuk memberi pelayanan di rumah melalui staf atau pengaturan berdasarkan kerja (kotrak).

Mekanisme Perawatan Kesehatan Di Rumah

Pasien atau klien yang memperoleh pelayanan keperwatan di rumah dapat merupakan rujukan dari klinik rawat jalan, unit rawat inap rumah sakit, maupun puskesmas. Namun pasien atau klien dapat langsung menghubungi agensi pelayanan keperawatan di rumah atau praktik keperawatan perorangan untuk memperoleh pelayanan.

Mekanisme yang harus dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Pasien atau klien pasca rawat inap atau rawat jalan harus diperiksa terlebih dahulu oleh dokter untuk menentukan apakah secara medis layak untuk di rawat di rumah atau tidak.

2. Selanjutnya apabila dokter telah menetapkan bahwa klien layak dirawat di rumah, maka di lakukan pengkajian oleh koordinator kasus yang merupakan staf dari pengelola atau agensi perawatan kesehatan dirumah, kemudia bersama-sama klien dan keluarga, akan menentukan masalahnya, dan membuat perencanaan, membuat keputusan, membuat kesepakatan mengenai pelayanan apa yang akan diterima oleh klien, kesepakatan juga mencakup jenis pelayanan, jenis peralatan, dan jenis sistem pembayaran, serta jangka waktu pelayanan.

3. Selanjutnya klien akan menerima pelayanan dari pelaksanaan keperawatan dirumah baik dari pelaksana pelayanan yang dikontrak atau pelaksana yang direkrut oleh pengelola perawatan di rumah. Pelayanan dikoordinir dan dikendalikan oleh koordinator kasus, setiap kegiatan yang dilaksanakan oleh tenaga pelaksana pelayanan harus diketahui oleh koordinator kasus.

4. Secara periodik koordinator kasus akan melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelayanan yang diberikan apakah sudah sesuai dengan kesepakatan.

Persayaratan pasien atau klien yang menerima pelayanan perawatan dirumah :

1. Mempunyai keluarga atau pihak lain yang bertanggung jawab atau menjadi pendamping bagi klien dalam berinteraksi dengan pengelola.

2. Bersedia menandatangai persetujuan setelah diberikan informasi (Informed Consent).

3. Bersedia melakukan perjanjian kerja dengan pengelola perawatan kesehatan dirumah untuk memenuhi kewajiban, tanggung jawab, dan haknya dalam menerima pelayanan.

Lingkup Praktik Keperawatan Di Rumah.

Lingkup praktik keperawatan mendiri meliputi asuhan keperawatan perinatal, asuhan keperawatan neonantal, asuhan keperawatan anak, asuhan keperawatan dewasa, dan asuhan keperawatan maternitas, asuhan keperawatan jiwa dilaksanakan sesuai dengan lingkup wewenang dan tanggung jawabnya. Keperawatan yang dapat dilakukan dengan :

1. Melakukan keperawatan langsung (direct care) yang meliputi pengkajian bio-psiko-sosio-spiritual dengan pemeriksaan fisik secara langsung, melakukan observasi, dan wawancara langsung, menentukan masalah keperawatan, membuat perencanaan, dan melaksanakan tindakan keperawatan yang memerlukan ketrampilan tertentu untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang menyimpang, baik tindakan-tindakan keperawatan atau tindakan-tindakan pelimpahan wewenang (terapi medis), memberikan penyuluhan dan konseling kesehatan dan melakukan evaluasi.

2. Mendokumentasikan setiap tindakan pelayanan yang di berikan kepada klien, dokumentasi ini diperlukan sebagai pertanggungjawaban dan tanggung gugat untuk perkara hukum dan sebagai bukti untuk jasa pelayanan keperawatan yang diberikan.

3. Melakukan koordinasi dengan tim yang lain kalau praktik dilakukan secara berkelompok.

4. Sebagai pembela atau pendukung (advokat) klien dalam memenuhi kebutuhan asuhan keperawatan klien di rumah dan bila diperlukan untuk tindak lanjut kerumah sakit dan memastikan terapi yang klien dapatkan sesuai dengan standart dan pembiayaan terhadap klien sesuai dengan pelayanan atau asuhan yang diterima oleh klien.

5. Menentukan frekwensi dan lamanya keperawatan kesehatan di rumah dilakukan, mencakup berapa sering dan berapa lama kunjungan harus di lakukan.

Jenis Pelayanan Keperawatan Di Rumah

Jenis pelayanan keperawatan di rumah di bagi tiga kategori yaitu :

1. Keperawatan klien yang sakit di rumah merupakan jenis yang paling banyak di laksanakan pada pelayanan keperawatan di rumah sesuai dengan alasan kenapa perlu di rawat di rumah. Individu yang sakit memerlukan asuhan keperawatan untuk meningkatkan kesehatan dan mencegah tingkat keparahan sehingga tidak perlu dirawat di rumah sakit.

2. Pelayanan atau asuhan kesehatan masyarakat yang fokusnya pada pomosi dan prevensi. Pelayanannya mencakup mempersiapkan seorang ibu bagaimana bayinya setelah melahirkan, pemeriksaan berkala tumbuh kembang anak, mengajarkan lansia beradaptasi terhadap proses menua, serta tentang diit mereka.

Pelayanan atau asuhan spesialistik yang mencakup pelayanan pada penyakit-penyakit terminal misalnya kanker, penyakit-penyakit kronis seperti diabet, stroke, hipertensi, masalah-masalah kejiwaan, dan asuhan pada anak.
Selengkapnya..

Hubungan Perawat-Dokter

19.58 Edit This 0 Comments »

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kolaborasi merupakan istilah umum yang sering digunakan untuk menggambarkan suatu hubungan kerja sam yang dilakukan pihak tertentu. Sekian banyak pengertian yang dikemukakan dengan sudut pandang beragam namun didasari prinsip yang sam yaitu mengenai kebersamaan, kerja sama, berbagi tugas, kesetaraan, tanggung jawab dan tanggung gugat. Namun demikian kolaborasi sulit didenifisikan untuk menggambarkan apa yang sebenarnya yang menjadi esensi dari kegiatan ini. Seperti yang dikemukakan National Joint Practice Commision(1977) yang dikutip Siegler dan Whitney(2000) bahwa tidak ada definisi yang mampu menjelaskan sekian ragam variasi dan kompleknya kolaborasi dalam kontek perawatan kesehatan.

Pada saat sekarang dihadapkan pada paradigma baru dalam pemberian pelayanan kesehatan yang menuntut peran perawat yang lebih sejajar untuk berkolaborasi dengan dokter. Pada kenyataannya profesi keperawatan masih kurang berkembang dibandingkan dengan profesi yang berdampingan erat dan sejalan yaitu profesi kedokteran. Kerjasam dan kolaborasi dengan dokter perlu pengetahuan, kemauan, dan keterampilan, maupun sikap yang professional mulai dari komunikasi, cara kerjasama dengan pasien, Maupin dengan mitra kerjanya, sampai pada keterampilan dalam mengambil keputusan.

Salah satu syarat yang paling penting dalam pelayanan kesehatan adalah pelayanan yang bermutu. Suatau pelayanan dikatakan bermutu apabila memberikan kepuasan pada pasien. Kepuasan pada pasien dalam menerima pelayanan kesehatan mencakup beberapa dimensi. Salah satunya adalah dimensi kelancaran komunikasi antaran petugas kesehatan (termasuk dokter) dengan pasien. Hal ini berarti pelayanan kesehatan bukan hanya berorientasi pada pengobatan secara medis saja, melainkan juga berorientasi pada komunikasi karena pelayanan melalui komunikasi sangat penting dan berguna bagi pasien, serta sangat membantu pasien dalam proses penyembuhan.


Rumusan Masalah

1. Bagaimana kerjasama dokter dan perawat dapat mencapai tingkat kolaborasi yang baik?

2. Bagaimana hubungan perawat dengan dokter didalam praktiknya dapat meningkat dengan baik dengan komunikasi yang baik pula?

3. Apakah perawat perlu rangsangan dari lingkungan yaitu rangsangan melalui kerjasama atau kolaborasi dengan dokter?

4. Apakah ada faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi system kolaborasi?


Tujuan

1. Mengetahui tahap-tahap praktik kolaboarasi

2. Mengetahui hubungan antara komunikasi dan praktik kolaborasi

3. Perbedaan praktik kolaborasi di antara kelompok pasien


BAB II

TREND DAN ISSUE YANG TERJADI

Hubungan perawat-dokter adalah satu bentuk hubungan interaksi yang telah cukup lama dikenal ketika memberikan bantuan kepada pasien.Perspektif yang berbeda dalam memendang pasien,dalam prakteknya menyebabkan munculnya hambatan-hambatan teknik dalam melakukan proses kolaborasi. Kendalap sikologi keilmuan dan individual, factor sosial, serta budaya menempatkan kedua profesi ini memunculkan kebutuhan akan upaya kolaborsi yang dapat menjadikan keduanya lebih solid dengan semangat kepentingan pasien.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa banyak aspek positif yang dapat timbul jika hubungan kolaborasi dokter-perawat berlangsung baik. American Nurses Credentialing Center (ANCC) melakukan risetnya pada 14 Rumah Sakit melaporkan bahwa hubungan dokter-perawat bukan hanya mungkin dilakukan, tetapi juga berlangsung pada hasil yang dialami pasien ( Kramer dan Schamalenberg, 2003). Terdapat hubungan kolerasi positif antara kualitas huungan dokter perawat dengan kualitas hasil yang didapatkan pasien.

Hambatan kolaborasi dokter dan perawat sering dijumpai pada tingkat profesional dan institusional. Perbedaan status dan kekuasaan tetap menjadi sumber utama ketidaksesuaian yang membatasi pendirian profesional dalam aplikasi kolaborasi. Dokter cenderung pria, dari tingkat ekonomi lebih tinggi dan biasanya fisik lebih besar dibanding perawat, sehingga iklim dan kondisi sosial masih mendkung dominasi dokter. Inti sesungghnya dari konflik perawat dan dokter terletak pada perbedaan sikap profesional mereka terhadap pasien dan cara berkomunikasi diantara keduanya.

Dari hasil observasi penulis di Rumah Sakit nampaknya perawat dalam memberikan asuhan keperawatan belum dapat melaksanakan fungsi kolaborasi khususnya dengan dokter. Perawat bekerja memberikan pelayanan kepada pasien berdasarkan instruksi medis yang juga didokumentasikan secara baik, sementara dokumentasi asuhan keperawatan meliputi proses keperawatan tidak ada. Disamping itu hasil wawancara penulis dengan beberapa perawat Rumah Sakit Pemerintah dan swasta, mereka menyatakan bahwa banyak kendala yang dihadapi dalam melaksanakan kolaborasi, diantaranya pandangan dokter yang selalu menganggap bahwa perawat merupakan tenaga vokasional, perawat sebagai asistennya, serta kebijakan Rumah Sakit yang kurang mendukung.

Isu-isu tersebut jika tidak ditanggapi dengan benar dan proporsional dikhawatirkan dapat menghambat upaya melindungi kepentingan pasien dan masyarakat yang membutuhkan jasa pelayang kesehatan, serta menghambat upaya pengembangan dari keperawatan sebagai profesi.


PEMAHAMAN KOLABORASI

Pemahaman mengenai prinsip kolaborasi dapat menjadi kurang berdasar jika hanya dipandang dari hasilnya saja. Pembahasan bagaimana proses kolaborasi itu terjadi justru menjadi point penting yang harus disikapi.bagaimana masing-masing profesi memandang arti kolaborasi harus dipahami oleh kedua belah pihak sehingga dapat diperoleh persepsi yang sama.

Seorang dokter saat menghadapi pasien pada umumnya berfikir, “ Apa diagnosa pasien ini dan perawatan apa yang dibutuhkannya “ pola pemikiran seperti ini sudah terbentuk sejak awal proses pendidikannya.Sudah dijelaskan secara tepat bagaimana pembentukan pola berfikir seperti itu apalagi kurikulum kedokteran terus berkembang.Mereka juga diperkenalkan dengan lingkungan klinis dibina dalam masalah etika,pencatatan riwayat medis,pemeriksaan fisik serta hubungan dokter dan pasien.Mahasiswa kedokteran pra-klinis sering terlibat langsung dalam aspek psikososial perawatan pasien melalui kegiatan tertentu seperti gabungan bimbingan-pasien.Selama periode tersebut hampir tidak ada kontak formal dengan para perawat,pekerja sosial atau profesional kesehatan lain.Sebagai praktisi memang mereka berbagi linkungan kerja dengan para perawat tetapi mereka tidak dididik untuk menanggapinya sebagai rekanan/sejawat/kolega.

Dilain pihak seorang perawat akan berfikir,apa masalah pasien ini? Bagaimana pasien menanganinya? ,bantuan apa yang dibutuhkannya? dan apa yang dapat diberikan kepada pasien Perawat dididik untuk mampu menilai status kesehatan pasien, merencanakan interfensi, melaksanakan rencana, mgevaluasi hasil dan menilai kembali sesuai kebutuhan. Para pendidik menyebutnya sebagai proses keperawatan. Inilah yang dijadikan dasar argumentasi bahwa profesi keperawatan didasari oleh disiplin ilmu yang membantu individu sakit atau sehat dalam menjalankan kegiatan yang mendukung kesehatan atau pemulihan sehingga pasien bisa mandiri.

Sejak awal perawat didik mengenal perannya dan berinteraksi dengan pasien. Praktek keperawatan menggabungkan teori dan penelitian perawatan dalam praktek rumah sakit dan praktek pelayanan kesehatan masyarakat. Para pelajar bekerja di unit perawatan pasien bersama staf perawatan untuk belajar merawat,menjalankan prosedur dan menginternalisasi peran.

Kolaborasi merupakan proses komplek yang membutuhkan shering pengetahuan yang direncanakan yang disengaja,dan menjadi tanggung jawab bersama untuk merawat pasien. Kadangkala itu terjadi dalam hubungan yang lama antara tenaga profesional.

Kolaborasi adalah suatu proses dimana praktisi keperawatan atau perawat klinik bekerja dengan dokter untuk memberikan pelayanan kesehatan dalam lingkup praktek profesional keperawatan, dengan pengawasan dan supervisi sebagai pemberi petunjuk pengembangan kerjasama atau mekanisme yang ditentukan oleh perturan suatu negara dimana pelayanan diberikan. Perawat dan dokter merencanakan dan mempraktekkan sebagai kolega, bekerja saling ketergantungan dalam batas-batas lingkup praktek dengan berbagi nilai-nilai dan pengetahuan serta respek terhadap orang lain yang berkonstribusi terhadap perawatan individu, keluarga dan masyarakat.


ANGGOTA TIM INTERDISIPLIN

Tim pelayanan kesehatan interdisiplin merupakan sekelompok profesional yang mempunyai aturan yang jelas, tujuan umum dan berbeda keahlian. Tim akan berfungsi baik jika terjadi adanya konstribusi dari anggota tim dalam memberikan pelayanan kesehatan terbaik. Anggota tim kesehatan meliputi: pasien,perawat,dokter,fisioterapi,pekerja sosial,ahli gizi,manager, dan apoteker. Oleh karena itu tim kolaborasi hendaknya memiliki komunikasi yang efektif, bertanggung jawab dan saling menghargai antar sesama anggota tim.

Perawat sebagai anggota membawa perspektif yang unik dalam interdisiplin tim. Perawat menfasilitasi dan membantu pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari praktek profesi kesehatan lain. Perawat berperan sebagai penghubung penting antara pasien dan pemberi pelayanan kesehatan.

Dokter memiliki peran utama dalam mendiagnosis, mengobati dan mencegah penyakit. Pada siuasi ini dokter menggunakan modalitas pengobatan seperti pemberian obat dan pembedahan. Mereka sering berkonsultasi dengan anggota tim lainnya sebagai membuat refelan pembarian pengobatan.

Kerjasama adalaha menghargai pendapat orang lain dan bersedia memeriksa beberapa alterntif pendapat dan perubaha pelayanan. Asertifitas penting ketika individu dalam tim mendukung pendapat mereka dengan keyakinan. Tindakan asertif menjamin bahwa pendapatnya benar-benar didengar dan konsesus untuk dicapai. Tanggung jawab, mendukung suatu keputusan yang diperoleh dari hasil konsesus dan harus terlibat dalam pelaksanaannya. Komunikasi artinya bahwa etiap anggota bertanggung jawab untuk membagi informasi penting mengenai perawatan pasien dan issu yang relevan untuk membuat keputusan klinis. Otonomi mencakup kemandirian anggot tim dalam batas kompetensinya. Kordinasi adalah efisiensi organisasi yng dibutuhkan dalam perawatan pasien, mengurangi duplikasi dan menjamin orang yang berkualifikasi dalammenyelesaikan permaslahan.

Kolaborasi didasarkan pada konsep tujuan umum, konstribusi praktis profesional, kolegalitas, komunikasi dan praktek yang difokuskan pada pasien. Kolegasilitas menekankan pada saling menghargai, dan pendekatan profesional untuk masalah-masalah dalam tim dari pada menyalahkanseseorang atau menghindari tanggung jawab. Hensen menyarankan konsep dengan ari yang sama: mutualitas,dimana dia mengartikan sebagai sutu hubungan yang menfalitasi suatu proses dinamis antar orang-orang ditandai oleh keinginan maju mencapai tujuan dan kepuasan setiap anggota. Kepercayaan adlah konsep umum untuk semua elemen kolaborasi. Tanpa rasa percaya, kerjasama tidak akan ada, asertif menjadi ancaman, menghindari dari tanggung jawab, terganggunya komunikasi. Otonom akan ditekan dan koordinasi tidak kan terjadi.

Elemen kunci kolaborasi dalam kerja sama team multidisipliner dapat digunakan untuk mencapai tujuan kolaborasi team:

1. Memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan menggabungkan keahlian unik professional

2. Produktifitas maksimal serta efektifitas dan efesiensi sumber daya

3. Meningkatnya profesionalisme dan kepuasan kerja, dan loyalitas

4. Meningkatnya kohensifitas antar professional

5. Kejelasan peran dalam berinteraksi antar profesional

6. Menumbuhkan komunikasi, kolegalitas, dan menghargai dan memahami orang lain

Berkaitan dengan issue kolaborasi dan soal menjalin kerjasama kemitraan dokter, perawat perlu mengantisipasi konsekuensi perubahan dari vokasional menjadi professional. Status yuridis seiring perubahan perwat dari perpanjangan tangan dokter menjadi mitra dokter yang sangt kompleks. Tanggung jawab hokum juga akan terpisah untuk masing-masing kesalahan atau kelalaian. Yaitu, malpraktek medis, dan mal praktek keperwatan. Perlu ada kejelasan dari pemerintah maupun para pihak yang terkait mengeni tanggung jawab hukum dari perawat, dokter maupun rumah sakit. Organisasi profesi perawat juga harus berbenah dan memperluas sruktur organisasi agar dapat mengantisipasi perubahan.

Komunikasi dibutuhkan untuk mewujudkan kolaborasi yang efektif, hal tersebut perlu ditunjang oleh saran komunikasi yang dapat menyatukan data kesehatan pasien secara komfrenhensif sehingga menjadi sumber informasi bagi semua anggota team dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu perlu dikembangkan catatan status kesehatan pasien yang memunkinkan komunikasi dokter dan perawat terjadi secara efektif.

Pendidikan perawat perlu terus ditingkatkan untuk meminimalkan kesenjangan professional dengan dokter melalui pendidikan berkelanjutan. Peningkatan pengatahuan dan keterampilan dapat dilakukan melalui pendidikan formal sampai kejenjang spesialis atau minimal melalui pelatihan-pelatihan yang dapat meningkatkan keahlian perawat.


BAHAN DAN CARA PENELITIAN

Subyek penelitian adalah 60 tenaga profesi yang terdiri dari 30 perawat dan 30 dokter sebagai responden, dan dilanjutkan observasi praktik kolaborasi dengan unit analis pasien (dengan 3 macam kelompok:10 pasien parah (40 x observasi, 10 pasien sedang (57 x observasi) dan 10 pasien mandiri (30 x observasi)).

Penelitian ini non-eksperimental degan rancangan cross sectional dengan unit analis interaksi perawat dokter dalam memberikan pelayanan terhadap pasien. Metode pengumpulan data denga cara observasi dan kosioner diberikan kepada semua dokter dan perawat yang merawat di ruang VIP.

Variabel penelitian, yaitu variabel independen praktik kolaborasi, variabel komunkasi (11 sub variebel) dan domain. Variabel moderator, yaitu variabel karakteristik demografi dan variabel kebutuhan ekonomi individu. Data dianalisis secara deskriptif untuk menjelaskan tingka praktik kolaborasi, dan untuk melihat hubungan komunikasi dan praktik kolaborasi, domain dan praktik kolaborasi dengan menggunakan analisis korelasi spearman rank. Untuk melihat hubungan tersebut yang dimoderasi oleh karakteristik demografi dan kebutuhan ekonomi individu menggunakan regresi multivariate dan untuk melihat seberapa perbedaan praktik kolaborasi diantar kelompok pasien dengan menggunakan uji bedah “t_test”.


HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Tingkat praktik kolaboarasi pada pasien yang tergantung penuh (parah) belum mencapai kolaborasi tetapi, pada tahap berunding dan banyak tahap menghindar terutama lulusan SPK dan dokter spesialis. Sedangkan pada pasien yang ketergantungan sebagian (sedang) rata-rata pada tahap berunding-berakomodasi (mendekati kolaborasi). Hal tersebut disebabkan adanya perbedaan pengetahuan antara dokter dan perawat maupun kurangnya komitmen dokter untu ikut meningkatkan kualitas sumber daya manusia keperawatan dan mutu pelayanan keperawatan yang komprehensif (sesuai paradigma baru yaitu managed care).

Hasil observasi praktik kolaborasi menurut kelompk pasien: pasien parah dan menghindar 32%, berunding dan akan berunding 45%, pasien sedang dan menghindar 26%, serta berunding dan akan berunding 57,8%. Pada pasien yang mendiri dan menghindar 25%, berunding dan akan berunding 30%, dan berunding-berakomodasi 43%, dimana perawat berdiskusi dengan dokter pada pasien yang sudah mandiri untuk persiapan pulang, tetapi pada pasien parah kurang berdiskusi( hanya menerima pengarahan dan keputusan dari dokter). Sesuai standar akreditas rumah sakit, perawat dalam menyampaikan pasien pulang harus memberi penyuluhan dan membuat resum pemulangan pasien.

Hubungan komunikasi dalam pratik kolaborasi mempunyai nilai p<0,05 p="0,045," r="0,324" p="0,039" r="0,342" r="0,679" p="">

Hubungan komuikasi dan praktik kolaborasi yang dimoderasi atau dirancu oleh karakteristik demografi dan kebutuhan ekonomi individu, nilai r=0,699 dan p=0,016 (p<0,05)>

Luthans menyatakan bahwa komunikasi antara teman sejawat maupun komunikasi dalam hubungan kerja dala tingkat yang sama dalam sebuah organisasi dibutuhkan pemberian dorongan sosial untuk individu atau pribadi dari seseorang yang berkomunikasi. Hal tersebut sesuai pendapat Goossen, Epping, dan Abraham yaitu pemberian informasi dari displin profesi lain merupakan empiris dan proses informasi sebagai bahan untuk model membuat keputusan. Keputusan dokter dalam perawat dalam berkolaborasi mempunyai tujuan yang sama tetapi formulasinya yang berbeda. Chen juga menyatakan bahwa semua komponen dalam berkomunikasi dari hubunga kolaborasi.

Dokter lebih baik meluangkan waktu untuk berkomunikasi dengan pasien secara seksama karena sekarang tuntunan masyarakat kan pelayanan semakin meningkat dan dengan komunikasi yang baik akan memberikan kepuasan pasien dan menurunnya medical arror maupun nursing error. Dalam beberapa kurun waktu secara tradisional sikap dominan kerja sama (domain) anatar dokter-perawat tidak ditentang karena bersumber dari perbedaaan pendidikan dan pemberian gaji serta adanya perawatan pembantu atau asisten dokter.

Menurut Warelow, kekurangan dari penolakan serius dari beberapa bentuk yang demikian ditegakkan statusquo, akhirnya mereka lebih baik bekerja sama, dalam tindakan keputusan (domain) yang mana pada waktu tertentu (di beberapa waktu) dapat melakukan tindakan medis. Jadi domain antra perawat dan dokter belum dapat dipertegas tetapi masih tumpanh tindih dan belu ada kejelasan yang nyata.Dari hasil observasi banyak masalah yang belum diperhatikan oleh perawat maupun dokter. Perbedaan praktik kolaborasi diantar kelompok pasien yang ketergantungan mempunyai p=0,01 (p<0,05)>

Perawat berada disamping pasien selam 24jam sehingga perawatlah yang mengetahui semua masalah pasien dan banyak kesempatan untuk memberikan pelayanan yang baik dengan tim yang baik. Untuk memberikan pelayanan yang baik dan tim yang baik. Untuk memberikan pelayan yang prima (komrehensip=biopsiko-sosial)dan berorientasi pada customer maka sudah waktunya kolaborasi antara perawat-dokter perlu ditingkatkan. Kolaborasi dapata termasuk tim inter disiplin dan interaksi perawat-dokter dalam praktik. Dokter harus mengetahui bahwa mreka tergantung sistem dalam menentukan kebutuhan perawat kesehatan dari pasie-pasien mereka dan progaram perawatan kesehatan untuk perbaikan kualitas kesehatan.


BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Untuk mencapai pelayanan yang efektif maka perawat, dokter dan tim kesehatan harus berkolaborasi satu dengan yang lainnya. Yidak ada kelompok yang dapat penyatakan lebih berkuasa di atas yang lainnya. Masing-masing profesi memilki profesional yang berbeda sehingga ketika digabungkan dapat menjadi kekuatan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Banyaknya faktor yang berpengaruh seperti kerjasama, saling menerima, berfungsi. Kolaborasi yang efektif antara anggota tim kesehatan menfalisitasi terselenggaranya pelayanan pasien yang berkulitas. Akan tetapi praktik kolaborasi perawat dokter yang terjadi belum mencapai optimal tetapi masih tahap berunding dan masih ada yang menghindar yang disebabkan kurang siapnya sumber daya keperawatan dan masih adanya kesenjangan tingkat kependidikan perawat dan dokter serta kuarangnya komitmen dokter untuk ikut meningkatkan kualitas sumber daya manusia keperawatan.

1. Pada praktik kolaborasi mempunyai hubungan yaitu:Ada hubungan bermakna komunikasi dengan prakti kolaborasi. Dengan komunikasi yang baik dan menghargai profesi lain dalam pengambilan keputusan bersama (dalam kolaborasi) di kelompok maka akan tercipta suatu tim work yang baik sehingga komitmen dalam memberikan pelayanan yang komprehensip dapat tercipta.

2. Tidak ada hubungan antara domain dengan praktik kolaborasi dimana domain sangatlah bervariasi, baik pendapat dokter maupun perawat dan belum adanya standar domain bersama (dokter-perawat)yang baku di Indonesia.

3. Komunikasi dan praktik kolaboarasi hubungannya bermakna dengan dimoderasi oleh karakteristik demografi dan kebutuhan ekonomi individu.

4. Hubungan domain dan praktik kolaborasi akan berhubungan sangat bermakna secara statistik setelah dimoderasi oleh karakteristik demografi dan kebutuhan ekonomi individu.

5. Ada perbedaan yang bermakna kolaborasi di antara kelompok pasien yang parah, sedang, dan mandiri. Praktik kolaborasi pada tahap berunding banyak dilakukan pada pasien yang ketergantungan sebagian (sedang)karena pada pasien ketergantungan penuh (parah) dokter hanya memberi pengarahan dan keputusan tanpa meminta pendapat perawat.


Saran

1. Untuk Pendidikn:Perlu adanya sosialisasi praktik kolaborasi dan managed care diantara tim kerja kesehatan atau profesi kesehatan mulai dari situasi pendidikan.

2. Untuk Rumah sakit: Untuk meningkatkan mutu pelayanan keperawatan kesehatan perlu adany peningkatan pendidikan perawat dan komunikasi yang baik ke pasien maupu antar tim kerja, dan untuk meningkatkan praktik kolaborasi perlu adanya komitmen bersama antara pemimpin (struktural) dan fungsional (profesi kesehatan), dimana pimpinan dapat mengadopsi managed care dan mensosialisasikan serta dapat diterapkan pada pelayan.

Selengkapnya..

Peran Perawat di Bidang Politik

19.57 Edit This 0 Comments »

Keperawatan bukan profesi yang statis dan tidak berubah, tetapi profesi yang secara terus- menerus berkembang dan terlibat dalam masyarakat yang berubah, sehingga pemenuhan dan metode perawatan berubah, karena gaya hidup berubah. Aktivitas dari organisasi profesional keperawatan menggambarkan seluruh trend dalam pendidikan dan praktek keperawatan kontemporer.

Download Filenya...

Selengkapnya..

Malpraktik

19.56 Edit This 0 Comments »

BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Sorotan masyarakat yang cukup tajam atas jasa pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan, khususnya dengan terjadinya berbagai kasus yang menyebabkan ketidakpuasan masyarakat memunculkan isu adanya dugaan malpraktek medis yang secara tidak langsung dikaji dari aspek hukum dalam pelayanan kesehatan, karena penyebab dugaan malpraktek belum tentu disebabkan oleh adanya kesalahan/kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, khususnya dokter.

Bentuk dan prosedur perlindungan terhadap kasus malpraktek yang ditinjau dari Undang-Undang Perlindungan Konsunmen No.8 tahun 1999. peraturan tersebut mengatur tentang pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah melalui lembaga-lembaga yang dibentuk oleh pemerintah yang membidangi perlindungan konsumen, selain peran serta pemerintah, peran serta masyarakat sangat perlu dibutuhkan dalam perlindungan konsumen dalam kasus malpraktek serta penerapan hukum terhadap kasus malpraktek yang meliputi tanggung jawab hukum dan sanksinya menurut Hukum Perdata, pidana dan administrasi.


RUMUSAN MASALAH

1. Apa itu malpraktek?

2. Apa asumsi masyarakat terhadap malpraktek?

3. Mengapa malratek justru banyak timbul pada zaman sekarang ini?

4. Apa saja unsur-unsur yang menyebabkan malpraktek?

5. Bagaimana kasus-kasus malpraktek?

6. Apa hukum dari tindakan malpaktek?

TUJUAN

1. Mengetahui pengertian malpraktek.

2. Mengetahui asumsi masyarakat terhadap malpraktek.

3. Mengetahui penyebab timbulnya mal praktek pada zaman sekarang.

4. Mengetahui unsur-unsur yang menyebabkan malpraktek.

5. Mengetahui kasus- kasus yang meliputi malpraktek.

6. Mengetahui hukum dari tindakan malpraktek.


BAB II

PEMBAHASAN

Pengertian malpraktek

Kelalaian ialah melakukan sesuatu dibawah standar yang ditetapkan oleh aturan atau hukum guna melindungi orang lain yang bertentangan dengan tindakan-tindakan yang tidak beralasan dan berisiko melakukan kesalahan, (Keeton, 1984). Sedangkan menurut Hanafiah dan Amir ( 1999 ) Kelalaian adalah sikap yang kurang hati-hati yaitu tidak melakukan sesuatu yang seharusnya seseorang lakukan dengan sikap hati-hati dan wajar, atau sebaliknya melakukan sesuatu dengan sikap hati-hati tetapi tidak melakukannya dalam situasi tertentu. Guwandi (1994) mengatakan bahwa kelalaian adalah kegagalan untuk bersikap hati-hati yang pada umumnya wajar dilakukan oleh seseorang dengan hati-hati, dalam keadaan tersebut itu merupakan suatu tindakan seseorang yang hati-hati dan wajar tidak akan melakukan didalam keadaan yang sama atau kegagalan untuk melakukan apa orang lain dengan hati-hati yang wajar justru akan melakukan didalam keadaan yang sama.

Dari pengertian diatas dapat diartikan bahwa kelalaian dapat bersifat ketidaksengajaan, kurang teliti, kurang hati-hati, acuh tak acuh, sembrono, tidak peduli terhadap kepentingan orang lain tetapi akibat tindakan bukanlah tujuannya. Kelalaian bukan suatu pelanggaran hukum atau kejahatan. Jika kelalaian itu tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimannya, namun jika kelalaian itu mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan atau bahkan merenggut nyawa orang lain ini diklasifikasikan sebagai kelalaian berat, serius dan criminal menurut (Hanafiah dan Amir, 1999).

Istilah malpraktek bisa dibilang sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Media informasi, baik cetak maupun elektronik,banyak sekali meliput masalah ini. Hal ini akan berdampak buruk terhadap eksistensi dunia kesehatan di Indonesia. Para tenaga medis dituntut untuk melaksanakan kewajiban dan tugas profesinya dengan hati-hati dan penuh tanggungjawab. Akan tetapi, yang namanya manusia suatu waktu dapat melakukan kesalahan, baik sengaja maupun tidak disengaja. Hal inilah yang mengarah ke ruang lingkup malpraktek. Dari berbagai sumber yang kami baca, malpraktek adalah kelalaian tenaga medis untuk menggunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien. Kelalaian yang dimaksud adalah sikap kurang hati-hati, melakukan tindakan kesehatan dibawah standar pelayanan medik. Kelalaian ini bukanlah suatu pelanggaran hukum jika kelalaian tersebut tidak sampai membawa kerugian kepada orang lain dan orang tersebut dapat menerimanya. Akan tetapi, jika kelalaian tersebut mengakibatkan kerugian materi,mencelakakan bahkan merenggut nyawa orang lain, maka hal ini bisa dikatakan malpraktek. Jadi, dapat disimpulkan bahwa malpraktek adalah kelalaian dengan kategori berat dan pelayanan kedokteran di bawah standar. Dari uraian di atas,bisa kita dapatkan indikasi-indikasi tenaga medis melakukan malpraktek, apabila seorang tenaga medis melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan hukum, melakukan kelalaian yang berat atau memberikan pelayanan dengan tidak hati-hati, kurang menguasai iptek kesehatan dan memberikan pelayanan kesehatan dibawah standar profesi. Yang dimaksud dengan standar profesi adalah pedoman baku yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan tindakan medik menurut ukuran tertentu yang harus digunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan tindakan medik menurut ukuran tertentu yang didasarkan pada ilmu dan pengalaman.


Asumsi masyarakat terhadap malpraktek

Maraknya malpraktek di Indonesia membuat masyarakat tidak percaya lagi pada pelayanan kesehatan di Indonesia. Ironisnya lagi, pihak kesehatan pun khawatir kalau para tenaga medis Indonesia tidak berani lagi melakukan tindakan medis karena takut berhadapan dengan hukum. Lagi-lagi hal ini disebabkan karena kurangnya komunikasi yang baik antara tenaga medis dan pasien. Tidak jarang seorang tenaga medis tidak memberitahukan sebab dan akibat suatu tindakan medis. Pasien pun enggan berkomunikasi dengan tenaga medis mengenai penyakitnya. Oleh karena itu, Departemen Kesehatan perlu mengadakan penyuluhan atau sosialisasi kepada masyarakat tentang bagaimana kinerja seorang tenaga medis.

Sekarang ini tuntutan professional terhadap profesi ini makin tinggi. Berita yang menyudutkan serta tudingan bahwa dokter telah melakukan kesalahan dibidang medis bermunculan. Di Negara-negara maju yang lebih dulu mengenal istilah makpraktek medis ini ternyata tuntutan terhadap tenaga medis yang melakukan ketidaklayakan dalam praktek juga tidak surut. Biasanya yang menjadi sasaran terbesar adalah dokter spesialis bedah (ortopedi, plastic dan syaraf), spesialis anestesi serta spesialis kebidanan dan penyakit kandungan.

Di Indonesia, fenomena ketidakpuasan pasien pada kinerja tenaga medis juga berkembang. Pada awal januari tahun 2007 publik dikejutkan oleh demontrasi yang dilakukan oleh para korban dugaan malpraktik medis ke Polda Metro Jaya dengan tuntutan agar polisi dapat mengusut terus sampai tuntas setiap kasus dugaan malpraktek yang pernah dilaporkan masyarakat.

Tuntutan yang demikian dari masyarakat dapat dipahami mengingat sangat sedikit jumlah kasus malpraktik medik yang diselesaikan di pengadilan. Apakah secara hukum perdata, hukum pidana atau dengan hukum administrasi. Padahal media massa nasional juga daerah berkali-kali melaporkan adanya dugaan malpraktik medik yang dilakukan dokter tapi sering tidak berujung pada peyelesaian melalui sistem peradilan.

Salah satu dampak adanya malpraktek pada zaman sekarang ini (globalisasi). Saat ini kita hidup di jaman globalisasi, jaman yang penuh tantangan, jaman yang penuh persaingan dimana terbukanya pintu bagi produk-produk asing maupun tenaga kerja asing ke Indonesia. Kalau kita kaitkan dengan dunia medis, ada manfaat yang didapat, tetapi banyak pula kerugian yang ditimbulkan. Manfaatnya adalah seiring mesuknya jaman globalisasi, maka tidak menutup kemungkinan akan kehadiran peralatan pelayanan kesehatan yang canggih. Hal ini memberikan peluang keberhasilan yang lebih besar dalam kesembuhan pasien. Akan tetapi, banyak juga kerugian yang ditimbulkan. Masuknya peralatan canggih tersebut memerlukan sumber daya manusia yang dapat mengoperasikannya serta memperbaikinya kalau rusak. Yang menjadi sorotan disini adalah dalam hal pengoperasiannya. Coba kita analogikan terlebih dahulu, dengan masuknya peralatan-peralatan canggih tersebut, maka mutu pelayanan kesehatan harus ditingkatkan. Namun, yang terjadi saat ini adalah banyak tenaga medis yang melakukan kesalahan dalam pengoperasian peralatan canggih tersebut sehingga menimbulkan malpraktek. Jelas sekali bahwa ketergantungan pada peralatan pelayanan kesehatan ini dapat menghambat pelayanan kesehatan. Untuk menindaklanjuti masalah ini, agar tidak sampai terjadi malpraktek, perlu adanya penyuluhan kepada tenaga pelayanan kesehatan mengenai masalah ini. Kemudian, perlu adanya penyesuaian kurikulum pendidikan dengan perkembangan teknologi. Satu hal yang lebih penting lagi adalah perlu adanya kesadaran bagi para tenaga medis untuk terus belajar dan belajar agar dapat meningkatkan kemampuannya dalam penggunaan peralatan canggih ini demi mencegah terjadinya malpraktek. Hal ini dapat direalisasikan dengan adanya penyuluhan yang disebutkan tadi. Selain pembahasan dari sisi peralatan tadi, juga perlu dipikirkan masalah eksistensi dokter Indonesia dalam menghadapi globalisasi. Seperti yang disebutkan sebelumnya, di jaman globalisasi ini memberikan pintu terbuka bagi tenaga kesehatan asing untuk masuk ke Indonesia, begitu pula tenaga kesehatan Indonesia dapat bekerja diluar negeri dengan mudah. Namun, apabila tidak ada tindakan untuk mempersiapkan hal ini, dapat menimbulkan kerugian bagi tenaga kesehatan kita. Bayangkan saja, tidak menutup kemungkinan apabila seorang tenaga medis yang kurang mempersiapkan dirinya untuk berkiprah di negeri orang, dikarenakan ilmunya yang masih minim serta perbedaan kurikulum di negeri yang ia tempati, terjadilah malpraktek. Hal ini tidak saja mencoreng nama baik tenaga edis tersebut tersebut, tetapi juga nama baik dunia kesehatan Indonesia. Yang jelas, kami sangat berharap akan peran dari Pemerintah pada umumnya dan peran dari Departemen Kesehatan pada khususnya untuk mempersiapkan tenaga kesehatan Indonesia dalam menghadapi era globalisasi saat ini.


Unsur-unsur yang menyebabkan malpraktek

Terdiri dari 4 unsur yang harus ditetapkan untuk membuktikan bahwa malpraktek atau kelalaian telah terjadi (Vestal.1995):

1.Kewajiban (duty): pada saat terjadinya cedera terkait dengan kewajibannya yaitu kewajiban mempergunakan segala ilmu dan kepandaiannya untuk menyembuhkan atau setidak-tidaknya meringankan beban penderitaan pasiennya berdasarkan standar profesi.

Contoh: :

Perawat rumah sakit bertanggung jawab untuk:

a. Pengkajian yang aktual bagi pasien yang ditugaskan untuk memberikan asuhan keperawatan.

b. Mengingat tanggung jawab asuhan keperawatan professional untuk mengubah kondisi klien.

c. Kompeten melaksanakan cara-cara yang aman untuk klien.

d. Breach of the duty (Tidak melasanakan kewajiban): pelanggaran terjadi sehubungan dengan kewajibannya, artinya menyimpang dari apa yang seharusnya dilakukan menurut standar profesinya.

Contoh:

a. Gagal mencatat dan melaporkan apa yang dikaji dari pasien. Seperti tingkat kesadaran pada saat masuk.

b. Kegagalan dalam memenuhi standar keperawatan yang ditetapkan sebagai kebijakan rumah sakit.

c. Gagal melaksanakan dan mendokumentasikan cara-cara pengamanan yang tepat (pengaman tempat tidur, restrain, dll)

d. Proximate caused (sebab-akibat): pelanggaran terhadap kewajibannya menyebabkan atau terkait dengan cedera yang dialami klien.

Contoh:

Cedera yang terjadi secara langsung berhubungan dengan pelanggaran terhadap kewajiban perawat terhadap pasien atau gagal menggunakan cara pengaman yang tepat yang menyebabkan klien jatuh dan mengakibatkan fraktur.

4.Injury (Cedera) : sesorang mengalami cedera atau kerusakan yang dapat dituntut secara hukum.

Contoh: :

Fraktur panggul, nyeri, waktu rawat inap lama dan memerlukan rehabilitasi.

Kasus-kasus malpraktek

Pembicaraan tentang malpraktik medik bukan hal baru di Indonesia.Tercatat dalam sejarah dunia kedokteran di Indonesia tahun 1923 telah ada kasus pasien (Djamiun) yang meninggal dunia karena kelebihan dosis obat yang diberikan.Tetapi yang sangat menyita perhatian publik adalah kasus seorang dokter perempuan yang bekerja disalah satu Puskesmas di Pati Jawa Tengah yang diduga telah melakukan malpraktek sehingga menyebabkan pasien yang ditanganinya meninggal dunia. Pada Pengadilan Negeri Pati, Dr. Setyaningrum dianggap bersalah, didakwa dengan pasal 359 KUHP. Putusan PN Pati kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Semarang. Tapi pada kasasi, Mahkamah Agung tidak sependapat dengan kedua putusan pengadilan judex factie tersebut dan membebaskan dokter tersebut.

Sejak itu ada saja kasus dugaan malpraktik yang dilaporkan media. Tetapi perbincangan tentang persoalan ini mengalami pasang surut seirama dengan banyaknya kasus yang terjadi dan menjadi polemik dalam masyarakat. Ketika tidak banyak media massa memblow up malpraktik di masyarakat, perdebatan soal ini pun terkesan tidak antusias lagi, padahal dari hari ke hari masalah ini perlu perhatian karena berkaitan lintas disiplin ilmu, yaitu kedokteran dan hukum. Apalagi mengingat teknologi kedokteran serta penyakit yang ada semakin kompleks.

Penegakan hukum yang proporsional terhadap tindakan dokter yang diduga melakukan tindakan malpraktik medik selain memberi perlindungan hukum bagi masyarakat sebagai konsumen dan biasanya mempunyai kedudukan lemah, dilain pihak juga bagi dokter yang tersangkut dengan persoalan hukum jika memang telah melalui proses peradilan dan terbukti tidak melakukan perbuatan malpraktik akan dapat mengembalikan nama baiknya yang dianggap telah tercemar, karena hubungan dokter dan pasien bukanlah hubungan yang sifatnya kerja biasa atau atasan bawahan tapi sifatnya kepercayaan.

Pasien akan datang pada seorang dokter untuk menyerahkan urusan kesehatannya karena ia percaya atau yakin pada kemampuan dokter tersebut melalui penawaran terbuka yang diberikan dokter lewat pemasangan plang nama dan kualifikasi keahliannya (misalnya spesialis apa). Dengan demikian reputasi dokter sehingga menimbulkan kepercayaan pasien adalah modal.

Istilah malpraktik medik awalnya memang tidak dikenal dalam sistem hukum kita. Tidak ada peraturan perundangan yang secara khusus menyebut masalah malpraktik ini. Hal ini wajar mengingat istilah ini berasal dari sistem hukum Anglo Saxon, meskipun sebenarnya ada beberapa peraturan hukum seperti KUHPerdata (perbuatan wanprestasi/pasal 1243 BW dan Perbuatan melawan hukum dalam pasal 1365BW) serta beberapa pasal konvensional dalam KUHP (seperti pasal 359,360 dan 344) yang meskipun tidak secara ekspilisit menyebut ketentuan tentang malpraktik namun dapat digunakan sebagai dasar pengajuan gugatan perdata atau tuntutan pidana.

Dari sudut harfiah, istilah malpraktik atau malpractice atau malapraxis artinya praktek yang buruk (bad practice), praktek yang jelek. Black’s Law Dictionary mendefinisikan malpraktik sebagai “unprofessional misconduct or unreasonable lack of skill. Jika memperhatikan pengertian diatas jelas perbuatan malpraktik bukan monopoli dari profesi medis (dokter). Ini berlaku juga bagi profesi hukum (misalnya advokat,hakim) atau perbankan (semisal akuntan). Jika dihubungkan dengan profesi medis barulah disebut malpraktik medik. Namun entah mengapa jika membicarakan istilah malpraktik ini selalu yang dimaksudkan adalah tindakan buruk yang dilakukan dokter.

Istilah malpraktik medik ini pertama kali digunakan oleh Sir William Blackstone tahun 1768 yang menyatakan bahwa malapraxis is great misdemeanor and offence at common law, whether it be for curiousity or experiment or by neglect: because it breaks the trust which the party had place in his physician and tend to the patient’s destruction.

Sedangkan menurut M. Yusuf Hanafiah malpraktek medis adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama. Pengertian yang dikemukakan oleh World Medical Association, menunjukkan bahwa malpraktik medik dapat terjadi karena tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada misconduct terntentu, tindakan kelalaian (negligence) ataupun suatu kekurangmahiran/ketidakkompeten yang tidak beralasan.

Pandangan malpraktik medik (kedokteran) yang dikaitkan dengan factor tanpa wewenang atau tanpa kompetensi ini dapat dipahami jika dihubungkan dari sudut hukum administrasi. Kesalahan dokter karena tidak memiliki Surat Izin Praktek (Pasal 36 UU No.29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran) atau tidak memiliki Surat Tanda Registrasi (pasal 29 ayat (1) lebih bersifat pelanggaran administrasi. Tetapi pelanggaran administrasi ini berpeluang menjadi tindak pidana karena dalam pasal lain dari UU 29/2004 itu menyebutkan sanksi pidana (dalam pasal 75 jo 76). Perbuatan pelanggaran dalam wilayah administrasi ini baru berpeluang menjadi malpraktik jika mengakibatkan kerugian fisik atau kehilangan nyawa pasien.

Sementara itu dari sudut hukum perdata malpraktik sangat berkaitan adanya pelanggaran kewajiban oleh tenaga medis. Tidak akan ada malpraktik jika tidak ada kewajiban yang dibebankan kepada tenaga medis melalui hubungan yang sifatnya merupakan kontrak teurapeutik.

Dari sudut hukum pidana ada standar umum yang harus dipenuhi bagi kelakuan malpraktik medik sehingga dapat membentuk pertanggungjawaban pidana, yaitu adanya sikap bathin pembuat, aspek perlakuan medis dan aspek akibat perlakuan. Pemahaman yang tidak seragam mengenai masalah malpraktik medik dari sudut hukum bukan hanya berkaitan dengan ketiga aspek diatas tapi juga menyangkut dengan belum adanya hukum yang khusus mengenai malpraktik medik tersebut. Dalam UU No.29/2004 juga tidak memuat pengertian malpraktik hanya memberi dasar hukum bagi korban (pasien) yang dirugikan untuk melaporkan tindakan dokter dalam menjalankan praktiknya secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (pasal 66 ayat (1).


Aspek hukum malpratek

Hukum itu mempunyai 3 pengertian, sebagai sarana mencapai keadilan, yang kedua sebagai pengaturan dari penguasa yang mengatur perbuatan apa yang boleh dilakukan, dilarang, siapa yang melakukan dan sanksi apa yang akan dijatuhkan (hukum objektif). Dan yang ketiga hukum itu juga merupakan hak.Oleh karenanya penegakan hukum bukan hanya untuk medapatkan keadilan tapi juga hak bagi masyarakat (korban).

Sehubungan dengan hal ini, Adami Chazawi juga menilai tidak semua malpraktik medik masuk dalam ranah hukum pidana. Ada 3 syarat yang harus terpenuhi, yaitu pertama sikap bathin dokter (dalam hal ini ada kesengajaan/dolus atau culpa), yang kedua syarat dalam perlakuan medis yang meliputi perlakuan medis yang menyimpang dari standar tenaga medis, standar prosedur operasional, atau mengandung sifat melawan hukum oleh berbagai sebab antara lain tanpa STR atau SIP, tidak sesuai kebutuhan medis pasien. Sedangkan syarat ketiga untuk dapat menempatkan malpraktek medik dengan hukum pidana adalah syarat akibat, yang berupa timbulnya kerugian bagi kesehatan tubuh yaitu luka-luka (pasal 90 KUHP) atau kehilangan nyawa pasien sehingga menjadi unsure tindak pidana.

Selama ini dalam praktek tindak pidana yang dikaitkan dengan dugaan malpraktik medik sangat terbatas. Untuk malpraktek medik yang dilakukan dengan sikap bathin culpa hanya 2 pasal yang biasa diterapkan yaitu Pasal 359 (jika mengakibatkan kematian korban) dan Pasal 360 (jika korban luka berat).

Pada tindak pidana aborsi criminalis (Pasal 347 dan 348 KUHP). Hampir tidak pernah jaksa menerapkan pasal penganiyaan (pasal 351-355 KUHP) untuk malpraktik medik.

Dalam setiap tindak pidana pasti terdapat unsure sifat melawan hukum baik yang dicantumkan dengan tegas ataupun tidak. Secara umum sifat melawan hukum malpraktik medik terletak pada dilanggarnya kepercayaan pasien dalam kontrak teurapetik tadi.

Dari sudut hukum perdata, perlakuan medis oleh dokter didasari oleh suatu ikatan atau hubungan inspanings verbintenis (perikatan usaha), berupa usaha untuk melakukan pengobatan sebaik-baiknya sesuai dengan standar profesi, standar prosedur operasional, kebiasaan umum yang wajar dalam dunia kedokteran tapi juga memperhatikan kesusilaan dan kepatutan.Perlakuan yang tidak benar akan menjadikan suatu pelanggaran kewajinban (wan prestasi).

Ada perbedaan akibat kerugian oleh malpraktik perdata dengan malpraktik pidana. Kerugian dalam malpraktik perdata lebih luas dari akibat malpraktik pidana. Akibat malpraktik perdata termasuk perbuatan melawan hukum terdiri atas kerugian materil dan idiil, bentuk kerugian ini tidak dicantumkan secara khusus dalam UU. Berbeda dengan akibat malpraktik pidana, akibat yang dimaksud harus sesuai dengan akibat yang menjadi unsure pasal tersebut. Malpraktik kedokteran hanya terjadi pada tindak pidana materil (yang melarang akibat yang timbul,dimana akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana). Dalam hubungannya dengan malpraktik medik pidana, kematian,luka berat, rasa sakit atau luka yang mendatangkan penyakit atau yang menghambat tugas dan matapencaharian merupakan unsure tindak pidana.

Jika dokter hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan etik kedokteran maka ia hanya telah melakukan malpraktik etik. Untuk dapat menuntut penggantian kerugian karena kelalaian maka penggugat harus dapat membuktikan adanya suatu kewajibanbagi dokter terhadap pasien, dokter telah melanggar standar pelayananan medik yang lazim dipergunakan, penggugat telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.

Terkadang penggugat tidak perlu membuktikan adanya kelalaian tergugat. Dalam hukum dikenal istilah Res Ipsa Loquitur (the things speaks for itself), misalnya dalam hal terdapatnya kain kasa yang tertinggal di rongga perut pasien sehingga menimbulkan komplikasi pasca bedah. Dalam hal ini dokterlah yang harus membuktikan tidak adanya kelalain pada dirinya.


BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Ada banyak penyebab mengapa persoalan malpraktik medik mencuat akhir-akhir ini dimasyarakat diantaranya pergeseran hubungan antara tenaga medis dan pasien yang tadinya bersifat paternalistic tidak seimbangdan berdasarkan kepercayaan (trust, fiduciary relationship) bergantidengan pandangan masyarakat yang makin kritis serta kesadaranhukum yang makin tinggi. Selain itu jumlah dokter di Indonesia

dianggap belum seimbang dengan jumlah pasien sehingga seorang tenaga medis menangani banyak pasien (berpraktek di berbagai tempat) yang berakibat diagnosa menjadi tidak teliti.

Apresiasi masyarakat pada nilai kesehatan makin tinggi sehingga dalam melakukan hubungan dengan dokter, pasien sangat berharap agar dokter dapat memaksimalkan pelayanan medisnya untuk harapan hidup dan kesembuhan penyakitnya.

Selama ini masyarakat menilai banyak sekali kasus dugaan malpraktik medik yang dilaporkan media massa atau korban tapi sangat sedikit jumlahnya yang diselesaikan lewat jalur hukum.

Dari sudut penegakan hukum sulitnya membawa kasus ini ke jalur pengadilan diantaranya karena belum ada keseragaman paham diantara para penegak hukum sendiri soal malpraktik medik ini.

Masih ada masyarakat (pasien) yang belum memahami hak-haknya untuk dapat meloprkan dugaan malpraktik yang terjadi kepadanya baik kepada penegak hukum atau melalui MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia). Oleh karenanya lembaga MKDKI sebagai suatu peradilan profesi dapat ditingkatkan peranannya sehingga mendapat kepercayaan dari masyarakat sebagai lembaga yang otonom, independent dan memperhatikan juga nasib korban. Bahkan berkaitan dengan MKDKI ini SEMA RI tahun 1982 menyarankan agar untuk kasus dugaan malpraktik medik sebaiknya diselesaikan dulu lewat peradilan profesi ini.

Dari sudut hukum acara (pembuktian) terkadang penegak hukum kesulitan mencari keterangan ahli yang masih diliputi esprit de corps. Mungkin sudah saatnya diperlukan juga saksi yang memahami ilmu hukum sekaligus ilmu kesehatan.

Bahaya malpraktek memang luar biasa. Tidak hanya mengakibatkan kelumpuhan atau gangguan fatal organ tubuh, tetapi juga menyebabkan kematian. Masalah yang ditimbulkan pun bisa sampai pada masalah nama baik, baik pribadi bahkan negara, seperti yang dipaparkan waktu penjelasan fenomena malpraktek pada era globalisasi tadi. Benar-benar kompleks sekali permasalahan yang timbul akibat malpraktek ini. Sehingga benar bahwa malpraktek dikatakan sebagai sebuah malapetaka bagi dunia kesehatan di Indonesia.


Saran

Terhadap dugaan malpraktik medik, masyarakat dapat melaporkan kepada penegak hukum (melalui jalur hukum pidana), atau tuntutan ganti rugi secara perdata, ataupun menempuh ketentuan pasal 98 KUHAP memasukkan perkara pidana sekaligus tuntutan gantirugi secara perdata.

Selengkapnya..